Lomba Menulis Dongeng: Petualangan Si Amo (Si Amo Bertemu Sang Juara Catur)

Si Amo kembali mengunjungi SDIT Darussalam 01 Batam. Amo ingin bertemu dengan si Aman, sahabatnya. Seperti biasa Amo sengaja datang pada jam pulang sekolah, supaya tidak mengganggu am belajar  si Aman. Biasanya Aman akan menemani si Amo melihat-lihat lingkugan SDIT Darussalam 01 Batam. Tapi kali ini mereka hanya duduk-duduk di teras masjid Al Murid saja. Amo banyak bertanya tentang pelajaran Aman selama mereka berpisah. Dan Aman menanyakan kabar keluarga si Amo. Alhamdulillah, semua baik-baik saja.

Tiba-tiba gerimis turun, cukup lebat. Aman mengajak Amo masuk ke masjid agar tidak basah. Ada seorang anak kecil yang berpindah ke dalam masjid juga.

“Adik itu pasti masih kelas satu”, Amo berbisik di telinga Aman.

“Sok tau kamu, ah” balas Aman.

“Coba aja tanya kalau gak percaya”, Amo berkeras.

Aman baru akan membuka mulut ntuk bertanya, ketika tiba-tiba terdengan suara mengagetkan.

“ASSALAMUALAIKUM!!!”

“Waalaikumussalam!!!”, mereka bertiga menjawab spontan, penuh kaget.

“Hahaha …, kaget ya. Aku mau numpang berteduh di sini, boleh gak? Boleh kan?”, seraut wajah basah menyeringai.

Amo memeluk Aman kuat-kuat. Dia merasa tidak suka dengan tingkah anak yang baru datang itu. Satu hal yang membuat Amo lega, anak itu bukan siswa SDIT Darussalam. Anak itu memakai seragam yang berbeda dengan seragam Aman dan si anak kecil. Kalau siswa SDIT Darussalam, pasti tahu adab masuk ke masjid. Dan anak SDIT Darussalam pasti tidak menyebalkan seperti anak itu.

“Boleh sih, tapi kamu gak usah teriak begitu, ngagetin kita-kita”, jawab Aman datar.

“Halaaah .., kalian kan cuma anak-anak saja, gak perlu lah aku sopan-sopan kali. Kamu paling kelas 6 kan, samalah, aku juga kelas 6. Yang itu malah anak kecil. Apa lagi yang sekarang sembunyi di ketiakmu, dia kan cuma seekor monyet, cuma binatang. Ngapain aku harus penuh sopan santun. Biasa aja lah, Bro …”, jawab si anak aneh itu panjang lebar.

Aman hanya menggerakkan bahunya dengan malas mendengar jawaban anak tersebut.

“Agama kita mengajarkan adab yang baik terhadap binatang, apalagi terhadap sesama manusia, walaupun yang lebih kecil dari kita”, Aman memberikan nasihat dengan sabar. Anak itu hanya mendengus tanda kurang senang mendengar nasihat Aman.

“Lain kali lah kudengarkan nasihatmu itu, Pak Ustaz”, jawabnya mengejek. “Sekarang aku mau mengajakmu main catur dulu, Pak Ustaz”, tambahnya.

“Aku gak bisa main catur”, Aman menjawab pendek.

“Huahahaha….., yang kudengar anak SDIT Darussalam semuanya pintar-pintar. Rupanya main catur saja gak becus. Huahaha….”, anak sombong itu terbahak-bahak.

Aman mengelus kepala si Amo untuk menenangkannya. Aman tahu, si Amo sangat kesal mendengar omongan anak itu. Aman tidak mau, si Amo menyerang anak itu saking kesalnya. Aman melihat anak itu celingukan, kemudian lama memandangi si anak kecil yang sedang memandang mereka dengan raut ketakutan.

“Hei, anak kecil, siapa namamu?”, teriaknya.

“Acil”, terdengar jawaban pelan.

“Acil, anak kecil. Hahaa .., pas sekali namamu dengan keadaanmu sekarang. Nanti kalau kamu sudah besar, ganti nama jadi Asar dong, anak besar, hahaa …”.

“ … “

“Kelas berapa kau, Acil?”

“Satu”.

“Bagus! Sini dekat abang, biar abang ajarkan kau cara main catur yang baik. Biar nanti kalau sudah kelas 6 jangan seperti abang yang itu tuh”, ia menunjuk si Aman dengan ekor mata dan ujung bibirnya. Acil beringsut pelan mendekati anak itu.

“Namaku Boy Ganteng, panggil aja Bang Boy. Aku baru saja menang di final pertandingan catur di sekolahku, SD Itu. Jadi akulah sang Juara 1 catur di SD Itu. Kau harus bangga, karena sebentar lagi akan dilatih catur oleh Sang Juara”, mulut si Boy tak berhenti nyerocos sambil mengeluarkan bidak catur dari kotaknya. Si Boy mulai menyusun bidak catur di atas papan catur yang diletakkannya di hadapan si Acil. Mereka duduk berhadapan, berseberangan seperti layaknya pemain catur yang akan berlaga.

“Yang pertama, kamu harus belajar posisi awal para bidak catur ini. Aku pilih bidak warna putih ya, kamu yang hitam. Carilah rajanya, yang paling tinggi, seperti ini. Dan ratu yang sedikit lebih pendek dari raja. Letakkan mereka di tengah, seperti ini. Di sebelah mereka, menteri, kuda dan benteng, jangan terbalik ya. Kiri dan kanan sama”, mulut si Boy terus menyerocos sambil tangannya sibuk menyusun bidak-bidak caturnya yang berwarna putih. Ia mengamati tangan mungil si Acil yang sibuk menyusun bidak catur hitamnya, meniru susunan yang dicontohkan si Boy. Tak lama ia berhasil menyelesaikan susunan para pion yang berbaris rapi.

“Kuakui, kau memang seorang pemula yang baik, Cil. Nah, pelajaran berikutnya adalah cara melangkah. Setiap bidak mempunyai aturan melangkah yang berbeda-beda. Perhatikan dan ingat baik-baik ya”.

Selanjutnya si Boy sibuk menjelaskan cara para bidak catur itu melangkah. Benteng hanya boleh melangkah lurus. Para menteri harus melangkah miring. Sang Ratu bisa melangkah ke segala arah, lurus maupun miring. Sang Raja pun juga, tetapi Raja hanya boleh melangkah satu kotak, sedangkan Sang Ratu bisa melangkah lebih jauh. Kalau kuda, langkahnya membentuk huruf  L.

“Karena bidak caturku warna putih, maka aku yang mulai duluan, itu aturan permainannya. Khusus langkah pertama, pion boleh maju dua kotak. Langkah berikutnya hanya boleh maju sebanyak satu kotak. Mengerti?”, tangan si Boy menggeser pion yang berada di depan ratunya sebanyak dua kotak.

“Aku boleh melangkah dua kotak juga?”, si Acil ikut-ikutan.

“Ya”, si Boy mengangguk.”Hanya langkah pertama saja, ya”.

Tiba-tiba terdengar suara alunan musik mengalun. Lagu Zikir dan Zakat versi Pondok Gontor. Aman dan Acil saling berpandangan. Si Amo memandang keduanya dengan bingung. Kok ada bunyi musik, itu pasti suara telepon genggam. Siswa SDIT Darussalam dilarang membawa telepon genggam.  Jangan-jangan ..

“Wah, mengganggu saja”, si Boy menggerutu sambil sibuk membuka tasnya. Tiga pasang mata memperhatikan tingkah pongah si Boy yang terampil membuka telepon genggam merek terkenal itu. Ketiganya menelan ludah, membayangkan harga benda di tangan si Boy.

“Halo, ada apa?”, ketusnya.

“Maaf boss, boss sedang di mana ini? Kami cari-cari sampai ke pelosok sekolah gak ketemu”, terdengar jawaban dari speaker telepon yang sengaja diatur agar suaranya terdengar oleh Aman, Acil, dan Amo.

“Hei, cacing kerempeng, aku sedang di SDIT Darussalam 01 nih, tetangga kita. Aku cari lawan main catur yang seimbang, karena di sekolah kita aku sudah tak terkalahkan. Aku mau membuktikan kabar yang kita dengar selama ini, bahwa siswa SDIT Darussalam 01 itu, semuanya sholeh, cerdas, dan terampil. Daaan,,,,, hari ini aku menemukan seorang anak kelas enam di SDIT Darussalam 01, yang gak becus main catur. Huahaha …”, si Boy terbahak sambil mengerling ke arah si Aman. Si Amo mendengus kesal.

“Hajar mereka, boss. Tunjukkan kepada mereka, anak SD Itu lebih oke daripada mereka”, suara yang lain terdengar. Rupanya di seberang sana ada dua orang teman si Boy.

“Sip lah itu. Karena anak kelas enamnya gak becus main catur, aku sekarang sedang memberi tutorial gratis cara bermain catur kepada anak kelas satunya. Biar terjadi peningkatan mutu  di sekolah mereka ini. Huahaha …”, si Boy terbahak lagi. Si Acil memandangnya dengan raut tidak suka. Dia memandang si Aman yang masih sibuk menenangkan si Amo.

“Tapi hujan-hujan begini kami kelapara nih, boss…”, suara memelas terdengar.

“Ah, gampang itu, makanlah di kantin apapun yang bisa mengenyangkan kalian. Nanti kubayar sepulang aku dari sini. Oke? Dasar cacing kerempeng sama ikan buntal rakus, kerjanya makaaan aja”. Si Boy memutuskan percakapan telepon itu.

“Panggillah nama temanmu dengan nama yang diberikan orang tua mereka. Nama adalah doa. Jangan panggil dengan nama alias, apalagi yang menyangkut bentuk fisik seseorang. Itu artinya kamu menghina Sang Pencipta fisik tersebut”, Si Aman mencoba memberi nasihat lagi. Si Boy hanya mengerucutkan mulutnya sambil memandang si Aman dengan pandangan meremehkan.

“Ealaah …, Pak Ustaz mulai ceramah lagi. Ceramahmu menggangu pelajaran caturku, tauk!!!”, Si Boy teriak. ”Cuekin aja ya Cil, kita lanjutkan pelajaranmu hari ini”, Si Boy kembali menekuni papan caturnya. Si Acil diam, tapi mulai serius menatap papan catur tersebut.

Mereka melanjutkan permainan catur yang nampak tidak seimbang tersebut. Tubuh besar Si Boy begitu menjulang di depan mungilya tubuh Si Acil. Ditambah lagi ekspresi Si Boy yang begitu songong, penuh percaya diri, sementara Si Acil selalu bertanya setiap akan melangkahkan bidak caturnya.

“Kuda jalannya membentuk huruf L kan? Kudaku ke sini boleh?”, Si Acil bertanya dengan suara kecil. Matanya memandang wajah Si Boy, menunggu jawaban.

“Iya”, si Boy menjawab pendek dengan muka serius. Kemudian dia menggeser ratunya ke posisi aman, karena kuda si Acil membahayakan posisi ratunya. Si Acil menggeser bentengnya sehingga posisinya lurus dengan raja Si Boy yang baru saja ditinggalkan ratunya. Si Aman mengernyitkan keningnya melihat posisi raja Si Boy yang menurutnya tidak aman. Karena ikut mendengarkan penjelasan Si Boy kepada si Acil tadi, dia juga mengerti apa yang sedang terjadi di atas papan catur mungil itu.

“Kamu harusnya bilang skak mat, gitu”, sungut si Boy menyalahkan si Acil.

Skak mat itu apa?” tanya Acil polos.

“Kamu mengancam rajaku dengan cara menggeser benteng tadi. Jadi aku harus berusaha menyelamatkan rajaku. Eh, aduh, apa yang terjadi ini, rajaku gak bisa bergerak”, suara Si Boy panik. Si Aman tersenyum. Dia melihat si Acil mengedipkan sebelah matanya sambil menahan senyum. Si Amo memandang keduanya bergantian. Dia berbisik di telinga si Aman minta dijelaskan apa yang terjadi. Si Aman mengisyaratkan kata “nanti” dengan gerakan mulut tanpa suara.

Suara klakson mobil memecah keheningan. Si Boy mengelap keringat di dahinya sambil memandang ke arah mobil putih yang berhenti di samping masjid. Seorang laki-laki tegap keluar dari mobil putih tersebut. Si Boy terkesiap, sosok yang sangat dikenalnya ada di hadapannya tanpa diduga-duga. Amazing!!! Ia menyambut kedatangan laki-laki yang melangkah lebar menuju masjid, sambil berusaha menutup kepalanya dari gerimis yang masih turun.

“Pak Bagus”, sapanya senang.

“Iya nak, hei dari mana kamu tahu namaku?”, lelaki yang dipanggil Pak Bagus itu tersenyum dan memandang S Boy dengan heran.

“Saya mengidolakan Pak Bagus, satu-satunya master nasional yang tinggal di Batam. Saya selalu mengikuti berita tentang Pak Bagus”, Si Boy menjelaskan dengan gembira. Tiba-tiba dia terdiam. “Pak Bagus ngapain ke sini?” tanyanya kepo.

“Bapak mau menjemput anak bapak, itu lho anak Bapak. Namanya Acil, sudah kenalan?”, jawaban Pak Bagus bagai suara halilintar di telinga Si Boy. Wajahnya memucat seketika. Ia memandangi wajah Si Acil yang terlhat bahagia karena kedatangan ayahnya.

Si Amo bertepuk tangan dan melonjak-lonjak di sebelah si Aman yang tersenyum lebar. Si Acil juga tersenyum lebar. Si Boy tersenyum kecut dengan peluh bercucuran di wajahnya. Tangannya gemetar ketika memasukkan bidak-bidak catur ke dalam kotaknya. Dia sibuk merutuki kesombongan sikapnya selama ini. Alangkah malunyaaa..

“Siapa namamu, anak sholeh?”, Pak Bagus menyapa Si Aman yang mencium tangannya dengan takzim.

“Nama saya Aman, Pak Bagus. Saya senang bisa bertemu dengan seorang master kebanggaan Indonesia. Dan saya kagum pada si Acil, masih kelas satu sudah jago main catur”, pujinya tulus.

“Jangan terlalu merendah. Bapak baru ingat sekarang, kamu si Aman yang juara satu Kejuaraan Karate Pelajar Tingkat Nasional, kan? Anak muda yang hebat, sangat membanggakan”, Pak Bagus menepuk pundak Si Aman berkali-kali. Si Amo bertepuk tangan dan melonjak-lonjak lagi. Hepi banget dia.

“Abi, Bang Aman hebat lho, tahfiznya sudah hafal lima juz. Acil mau hebat seperti Bang Aman”, suara si Acil mengagetkan si Aman. Dan Si Amo? Dia sibuk melonjak-lonjak semakin tinggi.

“Subhanallaah, ternyata Aman tidak hanya hebat ilmu dunianya, tapi ilmu akhiratnya juga”, Pak Bagus mengelus kepala si Aman. “Kok kamu tahu Cil, Bang Aman sudah hafal lima juz?”

“Kemarin diumumkan Bapak Wakasis di halaman sekolah”, jawab Acil mantap.

Tangan si Boy semakin gemetar mendengar percakapan tersebut. Appaaaa??? Rupanya anak pemilik monyet itu jago karate? Matilah akuu …, tadi sudah kuejek dia habis-habisan. Dan anak kecil itu, ya ampuuun, dia rupanya anak Pak Bagus, master yang selama ini kuidolakan. Mamaaa…, tolonglah anakmu yang ganteng inii… Aku maluuuu… Aku gak mau sombong lagi. Aku mau jadi anak sholeh, seperti si Aman, juga seperti si Acil. Dan juga Pak Bagus. Mereka orang-orang hebat. Dan mereka tidak sombong seperti aku. Aku menyesaal…

Tangan gemetar si Boy memasukkan kotak catur ke dalam tasnya. Ia mendongak, menatap empat pasang mata yang sedang menatapnya. Ada air mengalir di sudut matanya. Air mata penyesalan atas tingkah lakunya selama ini.

“Aku minta maaf, ya …”, bisiknya lirih sambil menjabat tangan si Aman. Aman menyambut tangan si Boy dengan hangat. Ia tersenyum, kemudian memeluk tubuh si Boy yang sama tinggi dengannya.

“Kamu juga anak hebat kok, juara satu pertandingan catur di sekolahm adalah prestasi yang tidak semua orang bisa. Hanya saja, gak usah sombong, oke?”

Si Boy hanya mengangguk. Menghampiri Pak Bagus, mencium tangannya, dan menyalami Si Acil yang tersenyum tulus.

“Saya pamit, Pak Bagus. Terima kasih, Acil”, lirihnya. Si Boy berjalan keluar dari masjid dengan kepala tertunduk.

“Masih hujan, Boy. Mau bapak antar?”, tawar Pak Bagus ramah.

“Terima kasih, Pak. Sekolah saya dekat kok dari sini”.

Sesaat kemudian tubuh si Boy tampak menerjang rintik gerimis, berjalan menuju sekolahnya, SD Itu.

“Ayo Aman, pulang bersama-sama, biar bapak antar sampai ke rumahmu”, tawar Pak Bagus.

“Terima kasih, Pak. Saya masih mau menemani Si Amo jalan-jalan di sekolah, Pak”, tolak Si Aman dengan sopan. Dia mencium tangan Pak Bagus dengan takzim, kemudian bersalaman dengan si Acil. Mereka saling bertukar senyum. Pak Bagus mengelus kepala si Aman dengan penuh sayang. Si Acil mengelus kepala si Amo dengan gemas.

“Dah Amoo …, Acil pulang dulu ya…”

Si Amo melonjak-lonjak bahagia. Hari ini dia banyak belajar dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Hanya dalam waktu sekitar satu jam, dia belajar banyak hal. Alhamdulillah.

Share Postingan Ini Jika Bermanfaat :

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top