Cerita Indah di Satu Musim

Cerita Indah di Satu Musim

Oleh: Zaskia Athaya Putri Setiawan

 

Aku terdiam sejenak. Akhirnya apa yang kami tunggu hari ini tiba. Suara lembut ibu kepala sekolah dari speaker kelas sekejap membuat seisi sekolah ini bergembira. “Hari ini mohon anak-anak sekalian membawa semua bukunya pulang, karena mulai besok anak-anak belajar dari rumah.” Kami bersorak girang setelah mendengar itu. Semua langsung berbicara tentang rencana apa yang akan dilakukan saat libur sekolah nanti, termasuk aku. Menonton bioskop bersama teman, olahraga pagi bersama, main, makan bareng. Mungkin itu yang ada dipikiranku saat pertama kali mendengar sekolah diliburkan.

Semua sekolah di seluruh Indonesia secara resmi ditutup karena kondisi yang tidak memungkinkan. Desember 2019, sejak World Health Organization (WHO) menginformasikan adanya kasus klaster pneumonia dengan etiologi yang tidak jelas di suatu negara Asia dengan cepat menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Aku mendengar dari TV pertama kali saat 2 WNI terjangkit virus Covid-19. Aku tidak menyangka dalam satu hari langsung ada ratusan pasien terjangkit.

Walaupun sekolah sudah libur, tempat les-les aku masih tetap masuk. Seminggu kemudian saat aku berangkat ke tempat les Bahasa Inggris, aku telat 10 menit. “The class will off from…” Aku kaget melihat tulisan yang ada di papan tulis. “Libur, Yaa!” Ucap Gina, temanku dengan berbisik-bisik. “Yes! Semua libur, wkwk.” Jawabku dengan suara pelan. “Uhuk uhuk.” Aku tidak bisa menahan batukku karena tertawa. “We korona, korona, wkwk.” Canda teman les ku. Sekarang semua orang sensitif dengan batuk, bersin, dan, pilek. Aku selalu menahan-nahan untuk tidak batuk, karena aku sudah batuk-batuk sejak Desember lalu. Tidak parah, tapi tetap saja kan. Aku selalu ingin memakai masker ke tempat les. Tapi aku malu karena tidak banyak yang memakai masker.

Hari pertama sekolah dari rumah masih terasa biasa saja. Kami diberi tugas lewat whatsapp orang tua, kami diberi kontak guru-guru mata pelajaran, lalu kami mengirimkan foto tugas ke guru yang bersangkutan. Semakin hari rasanya semakin bosan. Sekolah hanya diberi rangkuman dan tugas, lalu sudah. Karena buku catatan kami tidak dicek lagi sama guru mata pelajaran (mapel), jadi aku bisa menulis catatanku dengan rapi. Aku membuat catatan secara digital lewat word. Aku print, dan aku masukkan ke binderku. Kalau di sekolah, aku harus cepat mencatat dan tidak ada waktu untuk menghias.

Setelah sekian lama, wali kelas menghubungiku lewat percakapan whatsapp. “Athaya, tolong beri tahu temannya untuk unduh zoom ya, besok kita akan coba pembelajaran menggunakan zoom.” Aku langsung senang kegirangan. Akhirnya aku bisa berbicara dan bertemu dengan teman beserta guru-guru walaupun lewat virtual. Setidaknya bisa mengobati rasa rindu selama ini. Selama belajar dari rumah aku tidak begitu mengerti dengan pelajaran-pelajaran baru yang guru jelaskan hanya lewat tulisan. Dengan pembelajaran lewat zoom ini, aku jadi lebih paham dan mengerti.

Tidak ada pengalaman yang terkesan di benakku tentang sekolah, karena aku menghabiskan waktuku di rumah, bahkan ketika teman-temanku sudah masuk sekolah, aku masih blejar di rumah.

Sejak Desember 2019 lalu, saat aku sakit tifus disertai anemia, dan infeksi saluran kemih, entah kenapa disertai dengan batuk. Dokter yang sudah biasa aku datangi saat aku sakit tidak terlalu memperdulikan batukku ini. Imunitas tubuhku memang lemah. Aku sering tidak kuat upacara dan olahraga. Bahkan sering sesak napas saat naik tangga menuju kelas.

Sudah dua bulan lebih aku belajar dari rumah tidak kemana-mana. Bahkan sudah masuk bulan Ramadhan, aku belum juga masuk sekolah. Pembelajaran masih menggunakan zoom. Ramadhan kali ini sangat berbeda dari tahun kemarin. Pandemi ini memaksakan kami untuk tetap beribadah di rumah. Tidak bisa tarawih di masjid bareng teman, buka puasa bareng, reuni, bahkan yang biasanya aku selalu membeli takjil menjelang buka puasa, tahun ini keluargaku membeli takjil-takjil yang digoreng ataupun dikukus sendiri. Seperti donat frozen dan dimsum frozen.

Bulan berganti, aku masih menjalani hari dengan batukku yang tidak kunjung sembuh. Bahkan aku sudah merasa terbiasa. Sampai suatu saat aku benar-benar lelah, aku menghubungi kakak sepupuku yang kebetulan seorang dokter. Aku ceritakan semua gejalanya, dan tentu saja dia menyuruhku untuk cepat ke rumah sakit. Tetapi orang tua ku menolak dengan alasan corona. Akhirnya aku diberi resep obat batuk oleh kakakku.

Berhari-hari minum obat tetapi batukku malah tambah parah, kali ini disertai dengan demam malah. Aku mulai takut, masa aku sakit lagi? Ujarku dalam hati. Badanku benar-benar panas sampai aku tidak bisa menahan tangisku. Aku berhenti minum obat karena merasa tambah parah. Aku hanya meminum madu dan obat-obat herbal.

Tidak terasa aku sudah naik kelas, kelas 8. Semua rencana kami di kelas 7 tidak ada yang terselesaikan. Rasa kecewa ada, tetapi mau bagaimana lagi, keadaan memaksa kami untuk seperti ini. Orang-orang bilang masa SMP adalah masa-masa yang seru. Tapi kurasa aku tidak akan merasakannya.

Suatu hari saat aku sedang menyantap biskuit coklat kesukaanku, tiba-tiba aku batuk yang tidak bisa ditahan dan tidak berhenti. Batukku mengeluarkan dahak yang banyak, bahkan seperti muntah dahak. Aku kaget dan panik. Dahakku disertai dengan darah. Aku langsung lari ke kamar mandi. Batuk ini tidak berhenti dan terus mengeluarkan dahak disertai darah. Aku tidak berani cerita ke bundaku karena takut beliau marah. Aku malah chat sahabatku, Qonita. Aku ceritakan semuanya dan aku ber-positive thinking dan bilang mungkin tenggorokan ku luka karena terlalu sering batuk, makanya ada darah. Tidak hanya sekali, mungkin kuhitung ada 3 kali aku batuk berdarah.

Aku sudah sempat cek ke dokter dan hasilnya nihil. Dokter itu tidak mengatakan apa-apa sehabis aku melakukan tes darah dan urine. Ia hanya memberikan aku obat dan antibiotik.

Dan ya, kondisiku tidak kunjung membaik. Aku benar-benar merasa tersiksa karena batuk ini bukan batuk biasa, ia seperti memaksa keluar dan tidak berhenti. Setiap batuk aku harus menyiapkan kantong dan tisu karena selalu muntah dahak tetapi tidak disertai darah.

Emosiku selama sakit juga tidak terkontrol, sering marah, badmood, dan nangis tanpa sebab apa-apa. Aku tidak bisa tidur nyenyak setiap malam karena selalu berkeringat, gelisah, napasku bersuara, dan aku selalu ingin batuk. Kadang aku menggigil dan kadang aku merasa badanku sangat panas. Ini benar-benar baru untukku.

Sampai akhirnya kondisiku benar-benar parah bahkan berat badanku sudah turun sampai 33 kg dari 39 kg dan gejalaku juga sangat mirip dengan Covid-19, aku dibawa ke prodia untuk melakukan rontgen dan tes darah. Tes darah bukan hal baru bagiku, tapi aku masih deg-deg an saat dokter mau menusuk jarum dan mengambil darahku, bahkan aku mengeluarkan air mata, haha. Padahal kalau dipikir-pikir itu tidak sakit.

Hasil rontgen dada keluar jam 5 sore dan bundaku mengirimnya ke kakak sepupuku. “Ini kayanya TB, Tante”

Malamnya aku diberitahu bahwa aku kena TB atau tuberkulosis dan besok pagi harus ke rumah sakit untuk di cek lebih lanjut. Aku merenung sendiri. Kenapa aku tidak ada curiga dengan TB sejak awal ya? Padahal aku tahu gejala paling umum penderita TB ya batuk berdarah. TB bukan penyakit sepele. Membutuhkan waktu 9 sampai 12 bulan untuk sembuh dan aku harus meminum obat tiap hari tidak boleh putus. Jika putus, aku harus mengulan oengobatan dari awal.

Aku berangkat esoknya menaiki mobil. Keadaanku lemas dan tidak kuat jalan jauh. Untung saja aku ada diantrean pertama. Aku masuk ruangan dokter dan ya. Dokter sudah jelas bahwa ini TB. Kondisi paru-paruku sudah parah. Semuanya terlihat putih karena dipenuhi oleh bakteri, yaitu mycobacterium tuberculosis. Dokter menyarankanku untuk rawat inap. Jujur aku tidak menolak karena aku ingin merasakan dirawat di rumah sakit. Sampai aku dipanggil untuk pasang infus, aku sadar aku salah.

Ini kali pertamaku pasang infus di tangan dan rasanya sakit sekali sampai aku berteriak kuat saat suster menusuk jarumnya. Tentu saja aku menangis haha. Sebelum dipasang infus darahku diambil dulu untuk tes covid-19. Dan aku harus menunggu sekitar 2-3 jam sampai tes nya keluar, baru boleh memasuki kamar rawat inap.

Aku ditempatkan di ruang isolasi, tanpa pasien lain karena penyakitku menular. Aku menghabiskan waktuku di rumah sakit hanya dengan tidur, makan, dan menonton TV. Hari-hari pertama, ada rasa sedikit senang. Bertemu suster-suster baik dan ramah, makan disediakan, tidak usah memikirkan sekolah, bahkan aku jarang memegang hp. Tapi makin hari aku semakin merasa tidak betah. Hampir tiap hari tanganku ditusuk jarum dan diambil darah. Infus dipindah dari tangan kanan ke kiri, jarum infus yang gagal sehingga harus ditusuk ulang, aku bahkan tidak bisa menggunakan tanganku karena sakit.

Bagaimana aku izin sekolah selama itu? Alhamdulillah wali kelas 8 ku saat itu sangat pengertian. Terima kasih Bu Dila.

Akhirnya aku meminta dokter untuk pulang, walaupun belum waktunya.

Hampir 2 bulan aku tidak mengikuti sekolah daring, akhirnya setelah ujian aku sudah bisa mengikuti kbm daring. Tidak ada yang spesial, hanya saja setiap guru yang mengajar selalu menanyaiku, “Athaya sudah sembuh?” Aku ragu mereka tahu tentang penyakitku. Teman-temanku juga banyak yang heran kenapa sakit kok lama sekali liburnya. Padahal ini bukan sakit biasa seperti tahu-tahun sebelumnya.

Sudah di penghujung hari kelas 8, aku akan menjadi senior. Rasanya cepat sekali. Aku tidak sekalipun belajar di sekolah selama setahun ini. Kelas 8 seperti tidak berarti untukku karena tidak terlalu berkesan.

Hari pertama masuk kelas 9 sama seperti biasanya. Wali kelasku Bu Reza, sama seperti wali kelasku saat kelas 7. Awal-awal kelas 9 masih daring, tetapi sekarang sudah sekolah tatap muka.

Hari pertama aku sekolah tatap muka, aku deg-degan. Aku takut tidak punya teman ngobrol karena daring membuatku menjadi seorang introvert, apalagi aku mudah tremor dan sulit mengontrol napas. Tetapi ternyata realitanya lebih dari ekspektasiku. Teman-temanku di kelas sangat baik dan seru.

Aku dipanggil Pak Tio kedepan untuk meng-update setoran hapalanku. Seingatku, Pak Tio pernah bertanya kenapa kemarin daring dan tidak sekolah offline. Aku menjelaskan keadaanku kepada Pak Tio. Semenjak itu, beliau selalu menyemangatiku agar sembuh setiap selesai setoran. Jujur itu membuatku semangat. “Ternyata ada, ya guru yang mengerti keadaanku.”

Akhirnya aku tidak daring lagi. Setiap hari aku sudah masuk sekolah. Ada satu hal yang terkesan saat aku sekolah di sekolah. Saat aku memenangi lomba dan semua guru yang aku temui, bahkan guru SD ku, mengucapkan selamat kepadaku. Memang sepele, tetapi hal kecil itu membuatku semangat di sekolah.

12 September 2021. Tidak menyangka itu ada menjadi bulan terakhirku kontrol ke dokter. Aku dinyatakan sembuh dari TB dan tidak meminum obat lagi. Rasanya lega dan terharu. Setelah 9 bulan aku berjuang, akhirnya aku sembuh.

Terakhir, terima kasih untuk Pak Mus yang memilihku untuk mewakili sekolah lomba FLS2N cabang desain grafis. Sedikit kecewa karena tidak bisa mengikuti 2 lomba sekaligus, yaitu KSN IPS dan desain grafis, tetapi aku tetap senang. Hasil lomba ini tidak begitu membuatku puas, bahkan aku menangis saat tau aku hanya juara 2 dan tidak mewakili Batam di tingkat Provinsi. Tetapi itu pengalaman yang tidak akan kulupakan. Aku tidak pernah belajar tentang desain grafis. Karena lomba ini, aku jadi mempunyai sedikit ilmu tentang desain grafis.

September 2021. Sudah setahun lebih, corona belum juga hilang. Tetapi kasus pasien positif sudah jauh berkurang. Aku berharap pandemi ini cepat berakhir dan kita bisa beraktivitas seperti sedia kala. Terima kasih guru-guru yang sudah mengajar kami disaat pandemi ini. Pasti sulit dan repot. Semoga jasa guru-guru dibalas dengan rezeki dan kesehatan yang melimpah oleh Allah SWT. Terima kasih juga untuk teman-temanku, Yara, Qonit, Pega, sudah membantuku saat ketinggalan pelajaran.

Jangan lupa untuk jaga kesehatan, ya. Sakit di saat pandemi benar-benar merepotkan. Jangan aggap sepele corona. Tetap memakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak. Semangat!

Terima kasih sudah membaca sampai akhir.

 

Identitas Penulis

Nama  : Zaskia Athaya Putri Setiawan

Asal     : Kota Batam

Umur   : 14 tahun

Asal Sekolah   : SMPIT Darussalam 01 Batam

Kelas   : 9E

E-mail : zaskia7278@gmail.com

Share Postingan Ini Jika Bermanfaat :

1 thought on “Cerita Indah di Satu Musim”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top