Doakan Ayah Kami, Pak Guru, Ibu Guru

Saat upacara bendera berlangsung, aku berkeliling mengitari gedung sekolah, memeriksa satu per satu ruang kelas. Gedung yang megah ini berdiri dengan tiga lantai, cukup luas untuk anak-anak bermain petak umpet. Siapa tahu ada yang belum turun ke lapangan untuk mengikuti upacara. Dalam keadaan sepi seperti ini, gedung terasa rawan. Pagar belum selesai sepenuhnya, menyisakan beberapa celah yang bisa dimanfaatkan oleh maling.

Ketika melewati ruang kelas 2, aku mendengar suara kursi bergeser. Ada yang mencurigakan. Aku pun masuk untuk memeriksa. Di sudut kelas, tepat di samping lemari, aku melihat seorang siswi terduduk sambil memeluk lutut, wajahnya tampak cemas, dan matanya berkaca-kaca.

Aku duduk di sampingnya, menyamakan posisi. “Mengapa tidak ikut upacara? Sakit?” tanyaku lembut. Namun, ia hanya membenamkan wajahnya ke lutut, tak memberi jawaban.

Aku memutuskan untuk tidak memaksanya bicara dan memilih mengamati. Ada yang ganjil dengan pakaiannya. Setelah beberapa saat, aku berdiri dan melanjutkan pemeriksaan ke kelas lainnya.

=====

Aku mencari informasi lebih lanjut tentang siswi itu kepada wali kelasnya. Namanya Reni. Menurut wali kelasnya, Reni memang anak yang pendiam, suka menghindar, dan sering tak mau terlibat. Dia tinggal di perumahan liar (ruli).

“Di sini tertulis orang tuanya berdagang dan berkebun,” ujar salah satu staf TU sambil menyodorkan Buku Siswa.

Sore harinya, sepulang sekolah, aku sengaja mengunjungi rumahnya. Meski di perumahan liar, rumahnya mudah ditemukan. Ternyata benar, mereka memiliki warung kecil dengan sayuran dan kebutuhan sehari-hari berjejer di meja serta rak kayu.

Saat bertemu ibunya, ia terlihat sedikit kaget.

“Ada apa, Pak? Reni nakal, ya?” tanyanya setelah mempersilahkanku duduk dan berbasa-basi.

“Tidak, Bu. Justru saya ke sini untuk silaturahmi. Kata Pak Ustadz, silaturahmi memperpanjang umur,” candaku. “Yang kedua, tadi pagi saya melihat Reni masih di kelas saat upacara. Waktu saya tanya, dia tidak menjawab. Saya ingin tahu, apakah dia baik-baik saja.”

Aku pun menjelaskan tentang kepercayaan diri Reni yang terlihat kurang di sekolah.

“Oh, begitu…” jawab Ibu Reni dengan wajah setengah tak percaya.

“Tapi di rumah, Reni sangat ceria, Pak. Sekarang dia sedang di TPQ. Pulang sekolah langsung mandi dan pergi. Setelah TPQ, dia biasa bermain dengan teman-temannya, tertawa-tawa saja,” tambahnya.

Aku berpikir sejenak, ada sesuatu yang mulai cocok dengan dugaanku.

“Bu, saya hanya menduga. Mungkin Reni merasa minder karena pakaiannya. Coba ibu perhatikan, seragamnya sudah menguning, terutama seragam putih merah. Sangat kontras dengan seragam teman-temannya yang lain. Baju dan kerudungnya seperti sudah dipakai bertahun-tahun.”

“Benar juga ya. Ini mungkin karena air sumur kami,” katanya sambil menunjukkan seragam Reni. “Air sumur kami butek, agak kekuningan. Kami biasa mencuci pakaian dengan air itu. Untuk minum dan memasak, kami pakai air galon.”

“Kalau boleh saran, Bu, coba simpan seragam yang lama dan beli yang baru. Khusus untuk seragam Reni, cuci di laundry agar tetap cerah dan bersih. Sepertinya dia malu karena pakaiannya terlihat berbeda dari teman-temannya.”

Ibu Reni mengangguk setuju.

“Kita lihat nanti perkembangannya. Mudah-mudahan dugaan saya benar, dan Reni bisa lebih ceria di sekolah,” tambahku.

“Bapak Reni ke mana, Bu?” tanyaku.

“Bapak sedang berkebun. Itu satu-satunya pekerjaan yang bisa dia lakukan. Hasil kebunnya kami jual di sini. Alhamdulillah, cukup untuk biaya sekolah anak-anak.”

Setelah kunjungan itu, aku menyempatkan diri berkunjung ke kebunnya. Bapak Reni menggarap kebun sendirian. Kebunnya cukup luas, dengan beberapa kolam besar yang mampu menampung puluhan ribu ikan. Di sana juga terdapat pohon pisang dan rambutan, serta sebuah saung kecil untuk beristirahat.

Beberapa waktu kemudian, aku mendengar kabar bahwa Reni mulai berubah. Dia menjadi lebih ceria dan mudah bergaul. Aku pun merasa lega dan menyerahkan penanganan lebih lanjut kepada wali kelasnya.

Suatu sore, Bapak Reni datang ke rumahku dengan mengendarai motor bebek. Keranjangnya penuh dengan sayuran segar. Setelah turun, ia menyerahkan beberapa ikat sayuran besar.

“Ini sedikit sayuran, amanat dari Ibu Reni. Harus diterima katanya. Sudah lama ingin ke sini, tapi kebun masih sibuk, jadi baru bisa sekarang.”

Aku menerima sayuran itu sambil berpikir apa yang harus kulakukan dengan sebanyak ini.

“Untuk di sekolah, aku juga sudah mengirim sayuran untuk dibagikan ke guru-guru,” lanjutnya.

Besoknya, aku tahu bahwa Bapak Reni mengirim dua karung sayuran dan dua tandan pisang. Kami pun mengobrol panjang lebar tentang keluarganya dan perkembangan Reni di sekolah.

“Kami merasa beruntung menyekolahkan anak-anak di Darussalam,” katanya penuh semangat. “Kemarin saya telat jemput Reni, sudah hampir jam lima. Saya SMS wali kelas Reni untuk memberi tahu bahwa saya akan telat. Ternyata, ketika saya sampai, ibu wali kelas itu masih menemani Reni. Ya Allah, sebegitu perhatian guru-guru Darussalam.”

Aku merasa tersanjung. Hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Tapi jangan sering-sering telat jemputnya ya, Pak,” candaku.

“Haha… enggak, Pak,” katanya sambil mengelap keringat dari pelipisnya. Wajahnya menunjukkan kelelahan, namun tetap tampak semangat. Dia benar-benar pekerja keras, dengan kumis hitam dan otot-otot yang menonjol di tangannya—perawakan seorang tukang kebun sejati.

Bapak Reni selalu menganggap guru-guru Darussalam sebagai keluarga. Setiap kali menjemput anak-anaknya—ketiga anaknya bersekolah di sana—ia selalu menyempatkan diri mengobrol dengan guru-guru. Saat musim panen, ia sering membawa hasil kebunnya untuk dibagikan.

Tahun demi tahun berlalu, aku semakin jarang bertemu dengannya. Bahkan, di tahun-tahun terakhir, kami hampir tak pernah bertemu lagi.

===============

S

Suatu hari, aku mendengar seorang siswa SMPIT menyanyikan sebuah lagu dengan suara merdu. Setelah aku selidiki, ternyata suara itu milik Reni. What? Reni? Aku terkejut. Ternyata dia baru saja memenangkan juara 1 lomba Dendang Melayu se-kota Batam. Kok aku bisa kudet begini?

Tanpa berpikir panjang, aku langsung bergegas ke lapangan. Di sana, terlihat seorang siswi berkulit hitam manis sedang melantunkan lagu Melayu dengan penuh penghayatan. Suaranya mengalun indah, gerakan tubuhnya selaras dengan irama musik. Beberapa saat kemudian, dia menyadari kehadiranku dan menganggukkan kepala. Aku membalas dengan acungan jempol, merasa bangga.

=====

“Pak Dir, sudah tahu belum kalau bapaknya Reni dirawat di ICU?” tanya Pak Kamal tiba-tiba.

Aku terkejut, “Di mana dirawatnya?” tanyaku balik, cemas.

“Di Graha Hermin,” jawab Pak Kamal.

Tanpa menunggu lama, kami segera menuju rumah sakit. Di sana, terlihat Ibu Reni bersama putra-putrinya sedang berbincang. Wajah mereka tampak sendu, penuh kesedihan yang terpendam. Reni tidak terlihat di antara mereka.

“Bagaimana keadaan Bapak sekarang, Bu?” tanyaku, penuh kekhawatiran.

“Tadi malam, alhamdulillah, operasinya berjalan lancar. Ada pendarahan di kepalanya,” jawab Ibu Reni dengan suara pelan.

“Awalnya dia koma, tapi setelah operasi, syukur dia mulai sadar. Tangan pun sudah bisa digerakkan,” lanjutnya.

Ibu Reni mulai menceritakan bagaimana suaminya mengalami kecelakaan. “Malam Rabu itu, tak seperti biasanya, ayah pulang terlambat. Kata tetangga, motornya terlihat di simpang Brimob. Kami langsung ke sana, ternyata Bapak sudah dibawa ke rumah sakit. Katanya, Bapak ditabrak oleh motor Vixion yang menyeberang. Luka di badan hanya lecet, tapi setelah discan, ada pendarahan di kepala.”

Tiba-tiba Reni datang berlari ke arahku dan langsung memelukku erat. Dia menangis tersedu-sedu.

“Pak, tolong doakan ayah kami, ya Pak,” katanya dengan suara yang terisak, air matanya mengalir deras di wajahnya. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menyelimuti hatiku.

“Ya, Ren, Bapak doakan. Semua guru dan teman-temanmu juga mendoakan. Kita tahu, ayahmu orang yang kuat, fisiknya kuat, dan dia selalu senang berbagi. Insya Allah, ayahmu akan melewati cobaan ini dengan baik. Dia akan segera sembuh, kembali berkebun, dan membawakan kita sayuran serta buah-buahan seperti biasanya,” kataku, berusaha membesarkan hatinya.

Tangisan pun pecah di ruangan itu, tak hanya dari Reni, tapi dari semua orang yang ada di sana. Kami terdiam dalam keheningan yang penuh doa dan harapan.

Siang menjelang sore, semakin banyak orang datang untuk membesuk. Setelah beberapa saat, kami pun berpamitan.

Inilah hidup kadang kita berkumpul penuh suka cita terkadang pula kita bertemu dalam isak dan tangis.

====

Selama seminggu sejak kecelakaan itu, Bapak Reni—atau Bapaknya Agung, sebagaimana dia dikenal—masih terbaring di rumah sakit. Kondisinya belum juga membaik. Doa-doa kita sangat dinantikan oleh keluarganya. Mari kita semua berdoa untuk kesembuhannya. Semoga Allah mengabulkan doa-doa kita. Aamiin.

=====

Update. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Bapak Abdul Syukur, ayah Reni, telah meninggalkan kita semua. Namun, kebaikan dan ketulusannya akan selalu hidup dalam ingatan kita.

Allahummaghfir lahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu
Artinya, “Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, selamatkan dia, dan maafkanlah dia”

 

Penulis Pak Om dari kenangan lama

Share Postingan Ini Jika Bermanfaat :

1 thought on “Doakan Ayah Kami, Pak Guru, Ibu Guru”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top