Pagi itu begitu cerah. Anak-anak mengambil antrian, satu per satu melangkah melewati gerbang sekolah dengan wajah penuh semangat. Dengan kehangatan yang tulus, kami para guru menyambut mereka. Sesekali, kami membetulkan peci, kerudung, atau tas punggung mereka—hal-hal kecil yang mungkin mengganggu penampilan mungil mereka. Melihat anak-anak ini, rasanya bahagia. Wajah mereka yang bersih dan mata jernih memancarkan kepolosan. Tak heran, menjadi guru memang bisa membuat seseorang merasa awet muda, setiap hari dikelilingi oleh keceriaan anak-anak yang menggemaskan.
Seorang anak laki-laki menyalamiku dan berhenti. “Aku kenal Bapak sejak kelas satu,” katanya dengan polos
“Oh ya? Abang siapa namanya, sayang?” tanyaku lembut.
Dia menyebutkan namanya, lalu tanpa diminta mulai bercerita panjang lebar. Tiba-tiba, dia memelukku erat. Refleks, tanganku mengusap lembut punggungnya. Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk dan tersenyum. Di dalam hati, aku bertanya-tanya, ada apa dengan anak ini.
Setelah beberapa saat, dia melepaskan pelukan itu. “Bapak, aku masuk kelas dulu, ya,” katanya.
“Ya, Abang sayang,” jawabku, mataku mengantarnya sampai ia hilang di balik pintu kelas.
Aku bertanya pada rekan di sebelah, “Anak itu kenapa, ya Bu?”
“Sudah lama dia tidak bertemu ayahnya, Pak” jawabnya.
Aku terdiam, terhenyak. Seketika, semuanya terasa lebih jelas. Pelukan hangat yang tadi ia berikan bukan sekadar pelukan biasa—itu adalah ungkapan rindu yang mendalam pada sosok ayah yang sudah lama ia rindukan.
Di balik tawa dan keceriaan ribuan anak yang hadir setiap hari, rupanya ada yang diam-diam termenung, hanya bisa menjadi penonton keceriaan teman-temannya. Mungkin di hatinya ia berpikir, “Aku ingin seperti mereka—diantar ayah, dipeluk sebelum berangkat sekolah, dicium di dahi, dan dibisikkan kata-kata penuh kasih, ‘Semangat belajarnya, jagoanku.’”
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan perasaan haru yang tiba-tiba menyeruak.
Tak lama kemudian, dua anak perempuan datang menghampiri rekan sebelahku. “Ibu, kami menemukan uang,” kata mereka serempak, sambil menyodorkan dua lembar uang—pecahan dua puluh ribu dan lima ribu rupiah.
“Kami menemukannya di tangga,” salah satu dari mereka menambahkan.
“Makasih, Nak,” jawab kami bersamaan dengan senyum bangga.
Aku tertegun. Uang dua puluh lima ribu rupiah itu jumlah yang cukup besar bagi mereka—lebih dari cukup untuk membeli jajanan bersama. Tapi tanpa ragu, mereka menyerahkannya. Betapa bangganya aku melihat anak-anak ini—jujur dan tulus.
Sementara bel sekolah terus bergema, hatiku pun ikut bergetar—penuh rasa syukur karena masih diberi kesempatan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Anak-anak ini selalu membuatku merasa lebih hidup dan lebih berarti.
Momen-momen kecil seperti ini begitu berharga, dan tak ingin kulewatkan. Walaupun tak selalu kutemui keceriaan, terkadang ada duka yang kudapatkan, tetap saja mereka menghadirkan pelajaran berharga. Mereka mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang peka terlebih bagaimana menyelami perasaan orang lain tanpa harus menunggu mereka mengungkapkannya. Bimbinglah kami Ya, Allah.
****
Ingin mendapatkan Pendidikan terbaik? Sekolah di Darussalam saja. Sebentar lagi dibuka pendaftarannya. Pantengin terus informasi dari kami ya.
By pa om